Senin, 04 Agustus 2008

LEMBAR PENGESAHAN

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING


Laporan asuhan keperawatan pada Nn. O dengan Gangguan Sistem Persarafan: Cedera Kepala Sedang di Ruang Handayani Ff Rumah Sakit Purbowangi telah di terima dan disahkan oleh pembimbing Ujian Akhir Diploma III Keperawatan STIKES Muhammadiyah Gombong pada:

Hari :
Tanggal :
Tempat :




Pembimbing


Safrudin Agus Nur Salim, S.Kep. Ners









PENGESAHAN PENGUJI

Diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Uji Komprehensif
Pendidikan Ahli Madya Keperawatan
Muhammadiyah Gombong

Bidang : Medikal Bedah
Hari :
Tanggal :

Isma Yuniar, S.Kep. Ners : ( )
Ning Iswati, S.Kep. Ners : ( )


Mengetahui
Direktur Prodi DIII Keperawatan
STIKES Muhammadiyah Gombong


Herniyatun S.Kp






KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Ujian Komprehensif ini dengan judul “ASUHAN KEPERAWATAN PADA Nn. O DENGAN GANGGUAN SISTEM PERSARAFAN: CEDERA KEPALA SEDANG DI RUANG Ff HANDAYANI RUMAH SAKIT PURBOWANGI”.
Adapun maksud penulis membuat laporan ini adalah untuk melaporkan hasil ujian komprehensif dalam Ujian Tahap Ahir Jenjang Pendidikan Diploma III Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Gombong.
Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih setulus-tulusnya pada yang terhormat:
Bpk. Muhammad Basirun Al-Ummah M.Kes, selaku ketua STIKES Muhammadiyah Gombong.
Ibu Herniyatun, S.Kp, selaku Ketua Program D III Keperawatan STIKES Muhammadiyah Gombong.
Bpk. dr. H. Fatah Widodo, SPM, M.Kes, selaku Direktur Rumah Sakit Purbowangi.
Kepala Ruang Handayani beserta Staff dan Karyawan Rumah Sakit Purbowangi yang telah membantu penulis dalam kasus keperawatan ini.
Bpk. Safrudin Agus Nur Salim, S.Kep.Ners, selaku Dosen Pembimbing.
Tim Penguji Komprehensif.
Segenap Dosen dan staff STIKES Muhammadiyah Gombong yang telah memberikan materi serta bantuan baik materil maupun spiritual selama belajar di STIKES Muhammadiyah Gombong.
Kedua Orang tuaku dan kakak-adikku tercinta (Atik Purwanti dan Ummi Ainul Wardah) yang telah memberikan dorongan dan bantuan baik moral dan materil dalam penulisan laporan ini.
Mas Iwan yang telah membantu dalam penulisan laporan ini.
Rekan-rekan seperjuangan dan semua pihak yang telah membantu dalam penulisan laporan ini.
Penulis juga menyadari bahwa dalam penyusunan laporan Ujian Komprehensif ini banyak kekurangannya, oleh karena itu penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaian dan penyempurnaan laporan ini. Penulis mengharapkan semoga laporan ini bermanfaat bagi kita semua.


Gombong, Agustus 2008




Penulis





DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………………………………………………..... i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ……………………….. ii
PENGESAHAN PENGUJI ………………………………………….. iii
KATA PENGANTAR ……………………………………………….. iv
DAFTAR ISI …………………………………………………………. vi
BAB I KONSEP DASAR
Definisi ……………………………………………………….... 1
Etiologi ………………………………………………………... 2
Manifestasi Klinis …………………………………………….. 2
Anatomi Patologi ………………………………………........... 8
Patofisiologi ………………………………………………….... 9
Pathway ……………………………………………………….. 14
Fokus Pengkajian …………………………………………….. 15
Fokus Intervensi ……………………………………………… 16
BAB II RESUME KEPERAWATAN
Pengkajian ……………………………………………………. 22
Analisa Data dan Diagnosa ………………………………….. 24
Intervensi, Implementasi, dan Evaluasi ……………………. 25
BAB III PEMBAHASAN ……………………………………………. 30
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………….... 39

Konsep Dasar


BAB I
KONSEP DASAR

A. Definisi
Komosio serebri (gegar otak) merupakan bentuk trauma kapitis ringan, dimana terjadi pingsan (kurang dari 10 menit). Gejala gejala lain mungkin termasuk noda-noda di depan mata dan linglung. Komosio serebri tidak meninggalkan gejala sisa atau tidak menyebabkan kerusakan struktur otak (Pahria, 1996: 48).
Komosio serebri atau gegar otak adalah keadaan pingsan yang berlangsung tidak lebih dari 10 menit akibat trauma kepala, yang tidak disertai dengan kerusakan jaringan otak. Pasien mungkin mengeluh sakit kepala, vertigo, mungkin muntah, tampak pucat (Harsono, 2000: 310).
Cedera kepala sedang adalah cedera kepala dengan GCS (Galsgow Coma Scale) antara 9 sampai 13 (Mansjoer, Arif. 2000: 3).
Cedera kepala sedang adalah cedera kepala dengan Skala Koma Glssgow (SKG) antara 9-12 dengan kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam serta dapat mengalami fraktur tengkorak (Hudak dan Gallo, 1996: 226)
Dari beberapa pengertian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa cedera kepala sedang merupakan cedera kepala yang dapat mengakibatkan kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam serta dapat disertai dengan fraktur tengkorak dan kerusakan struktur dan jaringan otak dengan Skala Koma Galsgow (SKG) antara 9-13.
B. Etiologi
Penyebab dari cedera kepala sedang antara lain:
1. Kecelakaan sepeda motor atau lalu lintas
2. Jatuh, benturan dengan benda keras
3. Karena pukulan engan benda tajam, tumpul dan perkelahian
4. Cerdera karena olah raga (Corwin, 2000: 175)
Berbagai macam penyebab dari cedera kepala diantaranya karena adanya percepatan mendadak yang memungkinkan terjadinya benturan atau karena perlambatan mendadak yang terjadi jika kepala membentur objek yang tidak bergrak. Kerusakan otak bias terjadi pada titik benturan pada sisi yang berlawanan (Adelina, 2000, http://www.medicastore.com/ =687. Accessed 29 Juni 2008).
C. Manifestasi Klinis
Gejala klinik dari cedera kepala berbeda-beda dengan jenis dan macam-macam dari truma kepala itu sendiri. Jenis trauma kepala ada dua yaitu:
1. Trauma Kepala tertutup
a. Komosio serebri
Adalah suatu kehilangan fungsi neural akut yang berlangsung sebentar saja. Penderita mengalami amnesia retrograde tanpa ditemukannya kelainan neurologist. Sepertiga kasus mengelami kasus linier yang tidak dapat mengubah perjalanan penyakit sehingga tidak perlu rawat inap. Bila terjadi fraktur yang melintasi arteri meningia media, sutura lamdoidal atau sutura sagitalis sebaiknya dilakukan perawatan, karena kemungkinan akan terjadi hematoma epidural.
Tanda dan gejala klinik:
1) Pingsan tidak lebih dari 10 menit
2) TTV yang tidak normal atau menurun
3) Setelah sadar mungkin terdapat gejala subyektif seperi nyeri kepala, pusing dan mintah
4) Terdapat amnesia retrograde (singkat) dan pada pemerisaan tidak terdapat kelainan neurologi lainnya
b. Kontusio Serebri
Tanda dan gejala:
1) Pingsan berlangsung lama, lebih dari 1 jam dan dapat berhari-hari bahkan berminggu-minggu.
2) Kelainan neurologik. Kelinan ini timbul tergantung pada lokalisasi dan luasnya nyeri. Lesi pada batang otak dapat berakibat fatal.
a) Pada gangguan diensefalon: prnafasan biasa (cheyne strokes ), pupil mengecil, dan reflek cahaya baik, gerakan mata tetap ditengah pada pergerakan kepala, pada susunan motorik terdapat rigiditas debortikalis
b) Pada gangguan Mesensefalons dan Pons: penurunan kesadaran hingga koma, hiperventilasi, pupil melebar dan refleksi cahaya tidak ada, pergerakan cahaya tidak teratur sikap desorebrasi tungkai dan lengan (ekstensi).
c) Pada medulla oblongata: Nafas tersengal-sengal, tidak teratur kemudian berhenti, pada pemeriksaan fungsi lumbal, cairan serebrospinalis berdarah.
c. Hematoma epidural
Adalah pengumpulan darah diantara tulang kepala dan durameter. Lokasi yang sering terjadi adalah didaerah frontal dan temporal. Perdarahan ini terjadi karena robeknya arteri meningea media atau cabang-cabangnya, atau robeknya vena meningea media
Gejala Klinik:
1) Penurunan kesadaran (Nyeri kepala sebentar lalu membaik)
2) Anisokor
3) Hemiparesi kontralateral
4) Beberapa jam kemudian timbul gejala yang berat dan progresif (nyeri kepala hebat, pusing dan penurunan kesadaran).
d. Hematoma Subdural
Adalah pengumpulan darah diantara durameter dan arakhnoid. Perdarahan disebabkan oleh robeknya vena yang melintas dari kortekas serebri ke sinus dural (bridging veins) atau laserasi durameter. Perdarahan ini dapat dibedakan menjadi perdarahan akut, sub akut dan kronis. Perdarahan akut sering dihubungkan dengan cedar otak besar atau batang otak dengan tanda-tanda nyeri kepala, perasaan ngantuk, bingung, gelisah, dan respon yang lambat.
Perdarahan sub akut biasanya berkembang antara 7-10 hari setelah cedera dan dihubungankan dengan kontusio serebri yang agak berat. Hal ini dapat menyebaban tekanan yang terus-menerus yang dapat meningkatkan penurunan kesadaran yang dalam.
Perubahan subdural kronis terjadi karena luka yang ringan. Pada mulanya perdarahan yang kecil memasuki ruang subdural, kemudian beberapa minggu menumpuk disekitar membrane vaskuler dan pelan-pelan meluas dan menimbulkan gejala sampai beberapa minggu/bulan sehingga terjadi pnurunan tingkat kesadaran.
Gejala klinik:
1) Nyeri kepala yang hebat dan muntah
2) Ubun-ubun yang besar menonjol dan lingkar kepala membesar
3) Kejang-kejang
4) Perdarahan retina
5) Peningatan intra kranial yang timbul dalam satu waktu sampai dua hari
e. Perdarahan Intra Serebral
Merupakan penumpukan darah pada jaringan otak. Hal ini banyak dihubungkan dengan kontusio yang terjadi didaerah frontal dan temporal. Akibatnya danya substansi darah dalam jaringan otak maka akan menimbulkan edema otak dan gejala neurologiknya tergantung dari ukuran dan lokasi perdarahan:
Gejala Klinik:
1. Terjadi bersama kontusio
2. Lebih buruk dari kontusio
3. Adanya bekuan darah di otak
4. Edema lokal yang hebat
f. Fraktur Tengkorak
Fraktur tengkorak terdiri atas fraktur linier, distatik, growing basilar, impresi dan terbuka.
Fraktur linier: Tengkorak yang imatur dapat menahan deformasi yang lebih besar sebelum terjadi fraktur, dan bentuk yang terjadi biasanya fraktur linier. Pada anak kecil garis fraktur otak rata sehingga sulit dibedakan dengan sutura yang masih terbuka. Fraktur linier terjadi akibat pukulan benda keras, oleh karena itu perlu diobservasi kemungkinan terjadinya hematoma epidural dan subdural. Fraktur ditemporal atau meluas ke foramen magnum dapat disertai timbulnya hematoma epidural, demikian juga apabila garis fraktur menyilang pembuluh darah besar.
Fratur diastatik: Adalah terpisahnya satu sutura atau lebih karena trauma kepala. Terjadi karena robeknya sambungan sutra yang fibrus. Sering terjadi pada sutura lamdoidal dalam usia 4 tahun yang pertama. Keadaan ini harus dipantau secara tepat sebab dapat menjadi fraktur growing yaitu herniasi jaringan otak melalui durameter yang robek.
Fraktur basilar: Keadaan ini dapat dicurigai apabila telihat perdarahan nasofarings, telinga tengah, keluarnya cairan serebrospinal dari telinga (otorea), keluarnya cairan serebrospinal dari hidung (rinorea) , ekimosis retroarikular dan sekitar mata (battle sign) dan paresis Nervus VII dan VIII. Fraktur didasar fosa anterior dapat terjadi kedalam orbita dengan gejala eksoftalamos dan perdarahan konjungtiva, sedangkan fraktur dibagian temporalis bagian mastoid menyebabkan ekimosis retroarikular.
g. Sindroma Pasca Trauma
Gejala Klinik:
1) Palpitaasi (berdebar-debar)
2) Konsentrasi menurun
3) Dimensia ringan
4) Mudah tersinggung
5) Gangguan seksual
6) Berkeringat
7) Cepat lelah
8) Lesi-lesi kecil didaerah temporofrontal
2. Trauma Kepala Tertuutup (trauma spinal)
Gejala klinik:
a. Avulsi radiks terutama regio fleksus brakialis
b. Nyeri berat
c. Mengakibatkan paresis anggota badan terkait
d. Lesi servikal atas

Secara spesifik manifestasi klinis dari cedera kepala sedang adalah:
1. Kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.
2. Dapat mengalami fraktur tengkorak
3. Skala Koma Glasgow (SKG) antara 9-13 (Hudak dan Gallo, 1996: 226)
4. Terjadi konvusi
5. Muntah
6. Tanda kemungkinan terjadi fraktur kranium (mata rabun, hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebrospinal) dan terdapat lesi-lesi kecil di daerah tempofrontal
7. Kejang (Mansjoer, Arif. 2000: 4)
D. Anatomi Patologi
Otak dilindungi dari cidera oleh rambut, kulit dan tulang yang membungkusnya. Pelindung lain yang melapisi oatak adalah meningen yang mempunyai tiga buah lapisan ketiga lapisan tersebut adalah durameter, arakhnoid dan piameter. Durameter terdiri atas jaringan ikat kolagen padat, tebal dan keras. Lapisan paling luar berpadu dengan tengkorak dan merupakan selaput halus yang terdiri atas selmitosel yang disebut villus arakhnoid alis yang menonjol dalam sinus itu, berparan dalam Liquor serebrospinalis. Antara arakhnoid dan piameter terdapat tulang sabarakhnoid berisi serebrospinal terdiri berbagai selaput yang terjalin seperti laba-laba, saraf, makrofag, melankor. Pada sinus sagitalis superior dan transversal, arakhnoid membentuk tonjolan villus (pacciani) yang bertindak sebagai lintasan untuk mengosongkan cairan serebrospinale dalam sistem vena. Piameter terdiri atas selapis metosel yang berhubungan erat dengan otak (Price dan Wilson, 1995: 1014).
Adapun trauma pada kepala mengakibatkan kehilangan kesadaran dan reflek-reflek. Gejala-gejala lebih keras bila trauma terjadi pada saat kepala sedang bergerak. Akibat benturan, timbul getaran-getaran yang dialirkan ke jaringan otak, yang terkena mula-mula adalah permukaan otak sehingga daerah motorik yang superfisial (yang mengurus tungkai bawah) terkena juga sehingga menimbulkan kelemahan. Sering labirin terkena sehingga menimbulkan vertigo dan kehilangan keseimbangan. Terkenanya batang otak bagian atas menimbulkan kehilangan kesadaran. Gejala klinis khas ialah amnesia retrograde yaitu penderita setelah sadar lagi tidak mengetahui apa-apa yang mengenai kejadian tersebut. Setelah tingkat akut dapat terjadi gejala-gejala yang disebut sindrom paska gegar, yang biasanya terdiri atas nyeri kepala, pusing dan mudah tersinggung yang ditemukan pada orang dewasa (Himawan, 1996: 397).
E. Patofisiologi
Cedera kepala dapat terjadi karena cedera kulit, kepala, tulang kepala, jaringan otak, baik terpisah maupun seluruh. Faktor yang mempengaruhi cedera kepala adalah lokasi dan arah dari penyebab benturan, kecepatan kekuatan yang datang, permukaan dan kekuatan yang menimpa, kondisi kepala ketika mendapat benturan.
Tepat diatas tengkorak terletak galea aponeurika, suatu jaringn fibrosa, padat dan dapat digerakan dengan bebas yang membantu menyerap kekuatan eksternal. Diantara kulit dan galea terdapat lapisan lemak dan membran dalam yang mengandung pembuluh-pembuluh darah. Bila robek pembuluh ini akan sukar vasokontriksi. Tengkorak otak merupakan ruangan keras sebagai pelindung otak atau rangka otak. Pelindung lain adalah meningen yang merupakan selaput menutupi otak (Price dan Wilson, 1995: 1014)
Cedera kepala dapat bersifat terbuka (menembus durameter) atau truma tertutup (trauma tumpul tanpa penetrasi menembus durameter). Cedera kepala terbuka memungkinkan patogen lingkungan memiliki akses langsung ke otak. Pada kedua jenis kepala akan terjadi kerusakan apabila pembuluh darah dan sel glia dan neuron hancur. Kerusakan otak akan timbul apabila terjadi perdarahan sdan peradangan yang menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial (Corwin, 2001: 175).
Mekanisme cedera kepala memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya konsekuensi patofisiologi dari trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi bila benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, sedangkan perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak (Hudak dan Gallo, 1996: 226). Kedua kekuatan ini mungkin terjadi scara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan dapat diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada subtantia alba dan batang otak.
Cedera primer yang terjadi pada waktu benturan mungkin memar karena benturan otak, laserasi subtantia alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi Hiperemia (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial dan akhirnya peningkatan Tekanan Intra Kranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekundar meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi (Hudak dan Galllo. 1996: 226)..
Trauma dengan disertai edema dapat menyumbat CSF (Cerebro Spinal Fluid) baik langsung maupun tidak yang berakibat Tekanan Intra Kranial meningkat (Long. 1996: 2004).
Efek trauma yang dapat menyebabkan perubahan neurologik berat, disebaban oleh reaksi jaringan terhadap cedera setiap kali jaringan mengalami cedera, responnya dapat diperkirakan sebelumnya dengan perubahan cairan intrasel dan ekstrasel yang dapat mengakibatkan edema otak, mekanisme kompensasi menjadi tidak efektif yang menimbulkan peningkatan TIK yang dapat mengurangi aliran darah otak dan mengakibatkan retensi CO2 yang meningkat akibat mengakibatan vasodilatasi yang membantu peningkatan TIK sehingga otak akan mengalami penurunan dan glukosa, sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh berkurang karena akan menimbulkan koma (Pahria, Tuti. 1996: 50).
Pada kontusio serebri yang berat akan terrjadi penimbunan asam laktat dan penambahan asam laktat, hal ini dapat teerjadi karena metabolisme anaerobik dari glukosa akibat hipoksia atau kerusakan akibat trauma. Bila otak mengalami hipoksia maka metabolisme glukosa anaerob akan terrjadi dan pada proses ini menyebabkan dilatasi pembuluh darah, hal ini terjadi agar kebutuhan oksigen otak terpenuhi.
Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, bila terjadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar maka akan mengakibatan gangguan fungsi. Sedangkam bahan bakar utama otak adalah glukosa. Bila kadar glukosa kurang dari 20 mg % maka akan terjadi koma.
Dalam keadaan normal Cerebral Blood Flow yaitu 60-70 ml/menit/100 gram jaringan otak, yang berarti 20% dari CO. Pembuluh darah akan berkonstriksi bila tekanan menurun sedangkan pengaruh saraf simpatis dan parasimpatis pada pembuluh darah arteri tidak begitu besar. Sedangan konsentrasi O2 dan CO2 dalam arteri sangat mempengaruhi aliran darah. Bila PO2 rendah maka aliran darah akan bertambah secara nyata karena terjadi vasodilatasi, sebaliknya bila terjadi penurunan PCO2 akan terjadi alkalosis yang menyebabkan konstriksi arteri kecil dan penurunan CSF. Penambahan jumlah darah dalam intrakranial akan menyebabkan terjadinya Tekanan Intra Kranial (TIK).
Edema otak disebabkan karena adanya penumpukan cairan yang berlebihan pada jaringan otak. Pada pasien kontusio serebri pembuluh kapiler robek, cairan traumatik mengandung protein eksudat yang berisi albumin dan cairan interstitial. Otak pada kondisi normal tidak mengalami kondisi otak sehingga bila terjadi penekanan terhadap pembuluh darah dan jaringan sekitarnya akan menimbulkan kematian jaringan otak. Edema jaringan otak akan mengakibatkan peningkatan TIK yang dapat menyebabkan herniasi dan penekanan pada batang otak.
Banyak energi diserap oleh lapisan pelindung (rambut, kulit, kepala, tengkorak) tetapi pada truma hebat penyerapannya ini tidak cukup untuk melindungi otak. Sisa energi diteruskan dan menyebabkan kerusakan dan gangguan sepanjang jalan yang dilewati karena jaringan lunak menjadi sasaran kekuatan itu.
Efek sekunder trauma yang menyebabkan neurologik berat, disebabkan oleh reaksi jaringan terhadap cedera. Setiap kali jaringan mengalami cedera dan ekstrasel, eksravasasi darah, peningkatan suplai darah ketempat itu dan mobilisasi sel-sel untuk memperbaiki dan membuang debris seluler.
Neuron atau sel-sl fungisional dalam otak yang bergantung dari menit ke menit pada suplai nutrisi yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen serta sangat peka terhadap cedera metabolik apabila suplai terhenti sebagai akibat cedera, sirkulasi otak dapat kehilangan kemempuannya untuk mengatur volume darah beredar dan bersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak (Price, 1995: 1016).

G. Fokus Pengkajian
1. Aktivitas/ istirahat
Data subyektif : adanya kelelahan/ kelemahan
Data Obyektif : kesadaran menurun, latheragi, hemiparase, hilang keseimbangan, adanya trauma tulang, dan spasme.
2. Peredaran Darah
Data obyektif : tekanan darah tinggi, denyut nadi (Brachilis, Tachicardy, dysritmia)
3. Eliminasi
Data subyektif : verbal tidak dapat membuang air dan air besar
Data Obyektif : Bladder dan Bowel Icontinensia.
4. Makanan/ Cairan
Data subyektif : mual, Muntah
Data Obyektif : muntah yang memencar/ proyektil, masalah kesukaran menelan (batuk, air liur yang berlebihan, sukar makan makanan)
5. Persarafan
Data subyektif : pusing, adanya kehilangan kesadaran, kejang, masalah penglihatan, bunyi terdengung ditelinga.
Data Obyektif : kesadaran menurun, koma perubahan status mental, perubahan penglihatan, kehilangan sensitifitas, wajah tidak simetris, tida ada reflek tendon, hemiparase, adanya perdarahan mata, hidung, telinga dan kejang.
6. Kenyamanan/ Nyeri
Data subyektif : nyeri kepala yang bervariasi tekanan dan lokasinya.
Data Obyektif : respon menarik diri terhadap rangsangan
7. Pernafasan
Data Obyektif : perubahan pada pola nafas wheezing, stridor dan ronchi.
8. Keamanan
Data subyektif : ada riwayat kecelakaan
Data Obyektif : terdapat trauma, fraktur, dislokasi, perubahan penglihatan, kulit, keluar darah dari telinga atau hidung. Ketidaktahanan tentang keadaanya, kelemahan otot, paralise, demam, perubahan temperatur.
9. Konsep diri
Data subyektif : Adanya perubahan tingkah laku
Data Obyetif : Kecemasan, berdebar-debar, bingung, delirium
10. Interaksi Sosial
Data Obyektif : Afasia/ disatria (gangguan dalam mengartikan perkataan orang lain)
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan dalam menegakkan diagnosa medis adalah X- Ray tengkorak, CT Scan, Angiografi.
H. Fokus Intervensi
Intervensi Keperawatan bedasarkan diagnosa yang mungkin muncul pada pasien dengan cedera kepala adalah:
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan hemoragi, hematoma, atau edema serebral.
Dibuktikan oleh perubahan tingkat kesadaran, kehilangan memori, perubahan respon motorik/ sensorik, perubahan tanda-tanda vital. Kriteria hasilnya adalah mempertahankan tingkat kesadaran biasa/ perbaikan, kognisi dan fungsi motorik/ sensorik, mendemonstrasikan tanda-tanda vital stabil, tidak ada peningkatan tekanan intra kranial.
Intervensinya adalah pantau atau catat status neurologis dengan nilai skala coma Glasgow normal, pantau tekanan darah, evaluasi keadaan pupil, ukuran , kasamaan, reaksi, kaji perubahan pada penglihatan, catat/ada tidaknya reflek-reflek tertentu, (menelan, batuk), pantau suhu dan atur lingkungan sesuai indikasi, pantau pemasukan, dan pengeluaran, perthankan posisi kepala/ leher posisi tengah, netral, berikan wakti istirahat, diantara ativitas istirahat, kolaborasi tinggikan kepala pasien 15-45O sesuai indikasi, batasi pemberian sesuai indikasi, berikan oksigen tambahan, sesuai indikasi, berikan obat (diuretik, manitol, steroid, analgesik) sesuai indikasi (Doenges, 2000: 273).
2. Resiko tinggi terhadap pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernafasan otak), obstruksi trakeobronkial.
Kriteria hasilnya adalah mempertahankan pola pernafasan normal (efektif, bebas, sianosis, analisa gas darah normal)
Intervensinya adalah pantau frekuensi, irama, kedalaman pernafasan, angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miring sesuai indikasi, anjurkan pasien untuk melakukan nafas dalam yang efektif jika pasien sadar, lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati jangan lebih dari 10-15 detik. Catat karakter, warna dan kekeruhan secret, auskultasi suara nafas, perhatikan daerah hipoventilasi, pantau dari penggunaan dari obat-obat depresan pernafasan, serta dapat dipantau analisa gas darah, lakukan rontgent thoraks ulang dan berikan oksigen (Doenges, 2000: 277).
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi, penurunan kekuatan.
Dibuktikan oleh ketidakmampuan bergerak sesuai tujuan dalam lingkungan fisik di tempat tidur, pemindahan ambulasi. Kerusakan koordinasi, keterbatasan rentang gerak, penurunan kekuatan otot.
Kriteria hasilnya adalah melakukan kembali/ mempertahankan posisi fungsi optimal, mempertahankan/ meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit, mendemonstrasikan teknik/ perilaku yang memungkinkan dilakukannya kembali aktivitas, mempertahankan integritas kulit, kandung kemih dan fungsi usus.
Intervensinya adalah kaji derajat imobilisasi (skala 0-4). Ubah posisi pasien secara teratur, pertahankan kesejajaran posisi tubuh secara fungisional, berikan/ bantu untuk melakukan latihan rentang gerak, tingkat aktivitas dan partisipasi dalam merawat diri sesuai dengan kemampuan, berikan perawatan kulit cermat, masase dengan pelembab dan ganti linen tersebut dengan bersih, pantau pola eliminasi (Doenges, 2000: 282).
4. Resiko tinggi tehadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan, prosedur infasive.
Kriteria hasilnya adalah tidak ada tanda-tanda infeksi (rubor, color, dolor, tumor dan penurunan fungsi) mencapai penyembuahan luka tepat waktu bila ada.
Intervensinya adalah berikan terknik septik dan antiseptik, observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang alat infasive, pantau suhu tubuh secara teratur, anjurkan untuk melakukan nafas dalam, kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi (Doenges, M.E, 2000: 284).
5. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrisi, kelemahan otot untuk mengunyah dan menelan.
Kriteria hasilnya adalah kemajuan peningkatan berat badan sesuai tujuan, tidak mengalami tanda-tanda mal nutrisi.
Intervesinya adalah kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan, batuk dan mengatasi sekresi, auskultasi bising usus, timbang berat badan sesuai indikasi, jaga keamanan saat memberikan makan pasien, tinggikan kepala tempat tidur, berikan makan dalam jumlah kecil dalam waktu yang sering dan teratur. Kolaborasi yaitu dengan ahli gizi, pantau pemeriksaan laboratoriun, berikan makan dengan cara yang sesuai dengan indikasi (Doenges, 2000: 286).
6. Kurang pengetahuan mengenai kondisi penyakit dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan tidak mengenal informasi/ sumber.
Kriteria hasilnya adalah berpartisipasi dalam proses belajar, mengungkapkan pemahaman tentang kondisi, aturan pengobatan, melakukan prosedur yang diperlukan dengan benar.
Intervensinya adalah evaluasi kemampuan dan kesiapan untuk belajar dari pasien dan juga keluarganya, berikan kembali informasi kembali yang berhubungan dengan proses trauma dan pengaruh sesudahnya, diskusikan rencana untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri, berikan instruksi dalam bentuk tulisan dan jadwal mengenai aktivitas, obat dan faktor penting, identifikasi sumber-sumber yang berada di masyarakat (Doenges, 2000: 289).
7. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik
Kriteria hasilnya adalah mentoleransi aktivitas yang biasanya dilakukan dan ditunjukkan dengan daya tahan, penghematan energi dan perawatan diri Ativitas Kehidupan Sehari-hari (AKSI)
Intervensinya adalah terapi aktivitas: saran tentang bantuan dalan aktivitas fisik, kognitif, social dan spiritual yang spesifik unru meningkatkan rentang, frekuensi atau durasi aktivitas individu (atau kelompok), pengolahan energi: pengaturan penggunaan energi untuk merawat atau mencegah kelelahan da mengoptimalkan fungsi (Nic dan Noc, 2008: 4)
8. Gangguan rasa nyaman nyeri local berhubungan dengan penekanan intrakranial dan penurunan suplai oksigen ke otak (hipoksia).
Kriteria hasilnya adalah pasien tidak mengeluh nyeri, hematoma dan pembengkakan hilang atau berkurang, pasien dapat beristirahat dengan tenang.
Intervensinya adalah kaji tipe, lokasi dan durasi nyeri, jelaskan patologis terjadinya nyeri akibat daripada cedera, batasi daerah yang cedera, kaji perubahan intensitas nyeri, observasi tanda-tanda vital, ajarkan teknik relaksasi dan distraksi, observasi perubahan perilaku terhadap perasaan tidak nyaman, kolaborasi pemberian analgertik (Wahidi, & Aryati, 1996: 54).
9. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri
Kriteria hasilnya adalah pasien dapat beristirahat/ tidur dengan tenang, tidak ada gangguan tidur, mata tidak tampak sayu, dan wajah tidak tampak kusam.
Untuk mencapai tujuan tersebut, rencana tindakan yang akan dilaksanakan yaitu: kaji pola tidur, ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman, batasi pengunjung, jelaskan pentingnya arti tidur, berikan posisi yang nyaman, anjurkan untuk melakukan teknik distraksi dan relaksasi jika nyeri timbul.

RESUME KEPERAWATAN


BAB II
RESUME KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Pengkajian dilakukan pada hari Minggu 22 Juni 2008, pukul 16.45 WIB di Rumah Sakit Purbowangi R. Handayani Ff .
1. Identitas Pasien
Nn. O umur 19 th, jenis kelamin perempuan, agama Islam suku bangsa Jawa/indonesia, pendidikan terakhir Sekolah Menengah Atas, pekerjaan Mahasiswa, beralamat Jetis 2/3 Nusawungu, Nomor Register 041759 tanggal masuk 20 Juni 2008.
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke Instalasi Gawat Darurat RS Purbowangi pada tanggal 20 Juni pukul 16.45 dengan post Kecelaaan Lalu Lintas (KLL) pasien mengeluh pusing dan mual muntah. Selain pusing pasien juga terdapat luka lecet di tangan sebelah kanan. Dan nyeri saat berdiri, nyerinya seperti ditususk- tusuk jarum, nyerinya di kepala bagian belakang skal nyeri 6 serta lamanya nyeri ± 3 menit.
3. Riwayat penyakit dahulu
Pasien sebelumnya belum pernah mengalami sakit yang sama seperti yang di derita sekarang ini, belum pernah dirawat di Rumah Sakit sebelumnya.
4. Pengkajian Fokus
Pengkajian dilakukan pada hari Minggu tanggal 22 Juni 2008 puul 16.45 WIB pada hari kedua perawatan pasien mengatakan nyeri kepala dengan skala nyeri 6, nyeri datang dan semakin bertambah saat duduk dan berkurang ketika sedang istirahat atau dengan tiduran, nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk, pasien juga mengatakan lemas saat melakukan aktivitas dan berkurang jika istirahat. Pada tangan kanan terpasang infus RL 20 tetes permenit dan pada bagian tangan sebelah kiri (pada siku) terdapat luka lecet.
Pada saat pengkajian kesadaran umum Compos mentis, Glasglow Coma Scale (GCS) 15 dengan eye 4 verbal 5 dan motorik 6. Tanda-tanda Vital: Tekanan darah 120/90 mmHg, nadi 81 kali permenit, respirasi rate 23 kali permenit, suhu 36oC. Dari pemeriksaan laboratorium pada tanggal 21 Juni 2008 ditemukan data Hemoglobin: 13,2 gr% (normal 12-18 gr%), Antal Leukosit 8.900 mm3 (normal 4.000-10.000 mm3 ), Golongan darah O.
Terapi yang duberikan pada tanggal 22 Juni 2008 yaitu terapi Oral Mertigo 3x6 mg, Neuciti 1x1, Antasida syirup 3x1 sendok teh, Asam mefenamat 3x500 mg, dan terapi intra vena yaitu Ranitidin 2x1@250mg, Ampicilin 3x1gr, Primperan 3x1 dan Piracetam 3x1.
B. Analisa Data dan Diagnosa
Dari data yang didapat pada tanggal 22 Juni 2008 maka diagnosa yang muncul pada Nn. O adalah sebagai berikut:
Pertama, dari data subyektif pasien megatakan pasien mengatakan pusing banget dan data oyektif pasien didapatkan data Skala nyeri 6, pasien kelihatan pucat, nyeri berkurang saat duduk dan berkurang jika tiduran, nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk, dan lamanya nyeri ± 3 menit, Tekanan Darah: 120/90 mmHg, Nadi: 81X/mnt Respirate rate: 23 kali permenit Suhu: 36O Celcius. Dari kedua data maka diagnosa keperawatan yang muncul adalah nyeri akut berhubungan dengan trauma kepala.
Kedua, dari data subyektif pasien didapatkan data: pasien pusing saat melakukan aktivitas dan hilang saat istirahat sedangkan dari data obyektif pasien didapatkan data: pasien terlihat tiduran dan aktivitas dibantu keluarga. Dari kedua data maka diagnosa keperawatan yang muncul adalah Intoleransi aktivitas berhubungan dengan tirah baring/ imobilitas.
Ketiga, dari data obyektif pasien didapatkan data: terpasang infus Ringer Laktat 20 tetes permenit, terdapat luka lecet di tngan sebelah kiri. Dari kedua data maka diagnosa keperawatan yang muncul adalah Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan jalan masuk mikroorganisme.
C. Intervensi, Implementasi, dan Evaluasi
Penulis merangkaikan perencanaan, pelaksanaan, dan eveluasi menjadi satu bagian agar pembaca lebih mudah memehami masalah yang dihadapui olh pasien, rencana tindakan yang akan dilaukan untuk menyelesaikan masalah tersebut, bagaimana pelaksanaan tindakanya, serta bagaimana hasil akhir dari asuhan keperawatan yang diberikan.


1. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala
Tujuan yang hendak dicapai adalah nyeri dapat berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan selam 1X8 jam, dengan kriteria, skala nyeri turun menjadi 3, wajah tampak rilek dan tanda-tanda vital dalam batas normal.
Sedangkan rencana tindakan untuk mengatasi masalah nyeri yaitu memonitor tanda-tanda vital, kaji skala, karakteristik, intensitas, kualitas dan kuantitas nyeri (PQRST), ajarkan teknik relaksasi dan distraksi, berikan posisi yang senyaman mungkin, ciptakan lingungan yang aman dan nyaman berikan analgtik sesuai dengan instrusi dokter (Asam Mefenamat 3X500 mg, Mertigo 3X6 mg).
Adapun pelaksanaan dari rencana tindakan tersebut pada tanggal 23 Juni 2008 pukul 09.00 WIB adalah mengkaji keadaan umum pasien baik, kesadaran Compos Mentis dengan Glasglow Coma Skale 15 (E4 V5 M6). Mengukur tanda-tanda vital dengan respon Tekanan darah 120/90 mmHg, nadi 81 kali permenit, respirasi rate 23 kali permenit, suhu 36oC. Pada pukul 09.30 WIB mengkaji keluhan pasien dengan respon pasien mengatakan nyeri dengan skala 6 pada kepalanya, seperti ditusuk-tusuk, nyeri timbul dan bertambah ketika duduk dan berkurang jika tiduran atau dengan istirahat. Pada pukul 10.00 WIB mengajarkan teknik relaksasi dan distraksi dengan respon pasien mengikuti dan tampak antusias mengikuti anjuran teknik relaksasi dan distraksi. Pada pukul 11.00 WIB memberikan obat oral Mertigo 6 mg, Asam Mefenamat 500 mg dan Neurodex.
Evaluasi pada pukul tanggal 24 Juni 2008 yaitu data subyektif pasien mengatakan nyeri kepalanya masih ada. Data obyektifnya pasien masih telihat menahan nyeri dan sesekali masih memegang area nyeri, tekanan darah 120/90 mmHg, nadi 81 kali permenit, respirasi rate 23 kali permenit, suhu 36oC. Masalah keperawatan nyeri belum teratasi. Lanjutkan intervensi (megajarkan teknik relaksasi dan distraksi, juga melatih nafas dalam dan memberikan obat analgetik sesuai dengan indikasi).
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik
Tujuannya setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2X24 jam diharapkan kelemahan fisik pasien berkurang dengan kriteria: pasien tidak trlihat pucat dan lemes, pasien dapat beraktivitas secara bertahap dan mndiri.
Untuk mncapai tujuan tersebut, rencana tindakan yang akan dilaksanakan yaitu: kaji tingkat aktivitas pasien, instruksikan tentang beraktivitas secara bertahap, kaji respon terhadap aktivitasnya dan libatkan keluarga dalam melakukan aktivitas.
Adapun pelaksanaan dan pengamatan respon pasien terhadap tindakan yang telah dilakukan pada pukul 11.00 WIB tanggal 23 Juni 2008 yaitu: mengajarkan pasien untuk melakukan aktivitas dengan berlahan (latihan duduk/ latihan imobilisasi) dengan respon pasien mau latihan duduk, menganjurkan keluarga membantu ADL (Aktivity Daily Living) pasien dengan respon keluarga bersedia membantu dan memenuhi ADL pasien.
Evaluasi pada tanggal 24 Juni 2008 pukul 09.00 WIB yaitu data subyektif pasien mengatakan sudah dapat duduk walaupun hanya sebentar. Masalah kedua sudah teratasi. Pertahankan intervensi.
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan jalan masuk mikroorganisme
Tujuan yang hendak dicapai yaitu tidak terjadi penyebaran infeksi. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1X8 jam dengan kriteria tidak ada tanda-tanda infeksi (rubor, calor,dolor, tumor dan penurunan fungsi), tanda-tanda vital dalam batas normal, luka lecet mengering, leukosit dalam batas normal.
Untuk mencapai tujuan tersebut, rencana tindakan yang akan ilakukan adalah kaji tanda-tanda infeksi (rubor, calor,dolor, tumor dan penurunan fungsi), memonitor tanda-tanda vital, ganti balutan infus setiap hari, lakukan perawatan luka setiap hari dan berikan obat antibiotik sesuai dengan instruksi dokter.
Adapun pelaksanaan dan pengamatan respon pasien terhadap tindakan yang dilakukan pada pukul 12.00 WIB tanggal 23 Juni 2008 yaitu: memonitor tanda-tanda vital dengan respon pasien tekanan darah 120/90 mmHg, nadi 81 kali permenit, respirasi rate 23 kali permenit, suhu 36oC. Mengkaji adanya tanda-tanda infeksi dengan respon dari tindakan ini adalah tidak ditemukan tanda-tanda infeksi (rubor, calor,dolor, tumor dan penurunan fungsi). Melakukan perawatan luka dengan respon luka pasien tampak bersih, balutan infus tampak bersih. Memberikan antibiotik sesuai dengan instruksi dokter (injeksi intra vena) dengan respon injeksi Ampicilin 1000 mg masuk serta tidak disertai reaksi alergi.
Evaluasi pada tanggal 24 Juni 2008 yaitu mendapatkan data obyektif dan data obyektifnya yaitu: TTV dengan tekanan darah 120/90 mmHg, nadi 81 kali permenit, respirasi rate 23 kali permenit, suhu 36oC, Leukosit 8.900 mm3, balutan infus tampak bersih, luka lecet terlihat sudah mengering, tidak terdapat tanda-tanda infeksi. Masalah ketiga teratasi dan pertahankan intervensi.

PEMBAHASAN


BAB III
PEMBAHASAN

Dalam bab ini penulis kan membahas tentang kasus nyata pada pasien dengan gangguan persarafan: cedera kepala sedang pada Nn.O. pembahasan mencakup bagaimana msalah keperawatan itu muncul, mengapa masalah tersebut bisa terjadi, akibat masalah tersebut jika tidak segera diatasi, dasar pemikiran dalam mengatasi masalah dan hasil perkembangan yang dicapai setelah dilakuan asuhan keperawatan
Berikut adalah masalah keperawatan yang muncul pada pasien menurut prioritas, intervensi, implementasi, serta evaluasi yang telah dilakukan.
A. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala
Nyeri akut adalah pengalaman emosional dan sensori yang tidak menyenangkan yang muncul dari kerusakan jaringan secara aktual atau potensial atau menunjukkan adanya kerusakan (Association for the Study of Pain): serangan mendadak atau perlahan dari intensitas ringan sampi yang berat yang dapat diantisipasi atau diprediksi durasi nyeri kurang dari 6 bulan (Nanda, 2005-2006: 146).
Menurut Nanda (2005-2006: 147). Masalah yang tepat adalah nyeri akut sedangkan etiologinya adalah agen cedera (biologi, psikolagi, kimia dan fisik) , sehingga diagnosa yang tepat adalah nyeri berhubungan denga trauma kepala dan peningkatan intra kranial.
Batasan karaktristik mayor (harus terdapat) dari nyeri adalah individu memperlihatkan atau melaporkan ketidaknyamanan, komunikasi (verbal atau penggunaan kode) tentang nyeri yang dideskripsikan. Sedangkan batasan karakteristik minor (mungkin terdapat) dari nyeri adalah raut wajah kesakitan, tekanan darah meningkat, posisi berhati-hati, menangis, merintih, nadi meningkat, pernafasan meningat, pupil dilatasi, terasa sesak pada abdomen serta perubahan untuk melanjutkan aktivitas sebelumnya (Carpenito, 2000: 42-45).
Hal ini didukung dengan adanya data subyektif pasien mengatakan nyeri pada kepala dengan skala 6, dan nyeri seperti ditusuk-tusuk
Jika masalah tersebut tidak segera diatasi, maka nyeri akan berlangsung terus menerus dan ditandai spasme yang mengakibatkan otot-otot sekitar tegang, mengganggu kemampuan seseorang untuk beristirahat, konsentrasi dan kegiatan-kegiatan atau aktivitas yang biasa dilakukan serta dapat menyebabkan perasaan tak berdaya atau depresi (Long, 1996: 364).
Untuk mengatasi masalah nyeri tindakan keperawatan yang dilakukan adalah mengkaji lokasi, frekuensi, dan skala nyeri. Dalam mengkaji karakteristik nyeri menggunakan palliative (apa yang memperberat dan memperingankan nyeri), quality (rasa nyeri seperti apa), region (dimana tempat nyeri itu terjadi), scale (skala intensitas tingkat nyeri), dan timing (kapan waktu nyeri itu muncul). Doenges (2000: 254) menyatakan bahwa nyeri merupakan pengalaman subyektif pasien dan harus dijelaskan oeh pasien. Identifikasi karakteristik nyeri dan faktor yang berhubungan merupakan suatu hal yang amat penting untuk memilih intervensi yang cocok dan mengevaluasi keefektifan dari terapi yang diberikan.
Tindakan mengkaji keadaan umum terutama status neurologis dari pasien misalnya Glassgow Coma Scale (GCS) dengan hasil 15 (Eye 4, Verbal 5, dan Motorik 6). Doenges (1999: 273) menyatakan mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial peningkatan intra kranial dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan susunan saraf pusat, menentukan tingkat kesadaran.
Memonitor tanda-tanda vital pada pasien. Doenges (1999: 274) menyatakan normalnya, autoregulasi mempertahankan aliran darah otak yang konstan pada saat fluktuasi tekanan darah sistemik. Kehilangan autoregulasi dapat mengikuti kerusakan vaskularisasi serebral lokal atau menyebar (menyeluruh). Peningkatan darah sistemik yang diikuti penurunan tekanan darah diastolik (nadi yang membesar) merupakan tanda terjadinya peningkatan intra kranial jika diikuti oleh penurunan tingkat kesadaran.
Tindakan keperawatan yang selanjutnya yaitu memberikan posisi yang nyaman pada pasien. Pasien mengatakan mngatakan merasa nyaman dengan posisi tidur saat kepala leher pada posisi tengah untuk memperlancar aliran darah dari jantung ke otak. Doenges (2000: 275) menyatakan bahwa posisi tersebut dapat memberian efek ketenangan, menueunkan reaksi tubuh dan meningkatan istirahat untuk menurunkan tekanan intra kranium.
Tindakan yang lain yang dilakukan adalah mengajarkan teknik relaksasi dan distraksi. Dalam melakukan teknik relaksasi dan distraksi pasien memejamkan matanya dan bernafas dengan nyaman, irama yang konstan dipertahankan dengan menghirup dengan menghitung setiap menghirup dan menghembuskan nafas. Konsentrasi pada relaksasi otot-otot tubuh juga sanagat memberikan efek positif dan kenyamanan. Doenges (2000: 561) menyataan bahwa meningkatkan relaksasi dan memampukan pasien untuk memfokuskan perhatian dan meningkatkan koping.
Memberikan analgetik Asam Mefenamat 500 mg, Mertigo 6 mg yang cara kerjanya menghambat sintesis prostaglandin dalam jaringan tubuh dengan menghambat enzim siklooksigenase sehingga mempunyai efek analgetik dan anti inflamasi serta untuk melancarkan sirulasi otak. Selain itu pemberian analgetik juga berguan dalam mempermudah kerjasama dengan intervensi terapi yang lain (Doenges, 2000: 512).
Setelah dilakukan tindakan sesuai kriteria waktu yang telah direncanakan, kondisi pasien menunjukkan perubahan dengan adanya data subyektif pasien mengatakan nyerinya berkurang dengan skala 4, data obyetikfnya wajah telihat lebih rileks, kadang masih memegang area nyeri, terlihat menahan nyeri, tanda-tanda vital: tekanan darah 120/90 mmHg, nadi 81 kali permenit, respirasi rate 23 kali permenit, suhu 36oC. Dari hasil tersebut sehingga dapat disimpulkan masalah nyeri belum teratasi karena target nyeri berkurang antara 0 sampai 3. lanjutkan intervensi yang sudah dibuat.
B. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik
Intoleransi aktivitas adalah suatu keadaan dimana seseorang individu yang tidak cukup mempunyai energi fisiologis atau psikologis untuk bertahan atau memenuhi kebutuhan atau aktivitas sehari-hari yang diinginkan (Nic dan Noc, 2008: 2).
Menurut Nanda (2005-2006: 1) masalah yang tepat adalah intoleransi aktivitas sedangkan etiologinya adalah kelemahan. Batasan karakteristiknya adalah laporan verbal: kelelahan dan kelemahan, respon terhadap aktivitas menunjukkan nadi dan tekanan darah abnormal, dispnea dan ketidaknyamanan yang sangat. Hal ini didukung dari data subyektif pasien yaitu pasien mengatakan pusing saat duduk/ beraktivitas dan hilang ketika tiduran atau istirahat.
Jika masalah tersebut tidak segera ditangani maka kelemahan dan keletihan akan terjadi terus menerus bahkan bisa mengakibatkan pusing atau pingsan.
Untuk mengatasi masalah tersebut tindakkan keperawatan yang dilakukan adalah mengintruksikan pasien tentang teknik penghematan energi misalnya melakukan ativitas dengan perlahan (latihan duduk/ latihan imobilisasi). Doenges (2000: 45) menyatakan tenik menghemat energi mengurangi penggunaan energi juga membantu keseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.
Tindakan keperawatan yang berikutnya yaitu memberikan dorongan untuk melakuan aktivitas/ perawatan diri bertahap jika dapat ditoleransi dan berikan bantuan sesuai kebutuhan. Doenges (2000: 45) menyatakan bahwa kemajuan aktivitas bertahap mencegah peningkatan kerja jantung tiba-tiba, memberikan bantuan hanya sebatas kebutuhan akan mendorong kemandirian dalam melakukan aktivitas.
Setelah dilakukan sesuai dengan kriteria waktu yang telah direncanakan kondisi pasien, hasil evaluasi yang telah didapatkan yaitu: dari data subyektif pasien mengatakan belum bisa duduk lama-lama dan data obyektifnya pasien terlihat tiduran terus dan sering menahan pusingnya. Dari hasil tersebut dapat diambil kesimpulan masalah intoleransi aktivitas belum teratasi. Lanjutkan intervensi yang telah dibuat (mengajarkan untuk latihan secara bertahap).
C. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan pintu masuk organisme
Resiko terhadap infeksi adalah keadaan dimana seseoarang induvidu beresiko terserang agen-agen pathogen atau opurtunitik (virus, jamur, bakteri, protozoa, atau parasit yang lain) dari sumber-sumber eksternal, sumber-sumber endogen atau eksogen (Carpenito, 2001: 204).
Menurut NANDA (2005-2006: ) masalah yang tepat adalah resiko tinggi infeksi sedangkan etiologinya adalah pintu masuk mikroorganisme. Batasan karateristiknya adalah prosedur invasif, pertahanan sekunder tak adekuat (Hb menurun, luopenia, penekanan respon inflamasi) dan pertahanan primer tak adekuat (kulit tak utuh, trauma jaringan, penurunan gerak silia, cairan tubuh statis, prubahan sekresi pH, perubahan peristaltik). Penulis mengambil masalah keperawatan ini karena meskipun masih resiko tetapi apabila terjadi penyebaran infeksi akan menurunkan kekebalan tubuh sehingga bakteri atau kuman akan mudah menyerang dengan berkembang biak.
Diagnosa ini ditegakkan berdasarkan data yang ditemukan pada saat pengkajian yaitu pada tanggal 22 Juni 2008 antara lain balutan luka tampak bersih terpasng infus RL 20 tetes/ menit di lengan kanan dan terdapat luka lecet di tangan sebelah kiri atas dan adanya luka lecet dan jalur invasife pemasangan infus sehingga beresiko terhadap masuknya mikroorganisme.
Untuk mengatasi masalah tersebut tindakan keperawatan yang di lakukan adalah mengkaji tanda-tanda infeksi atau mengobservasi daerah kulit yang mengalami kerusakan (seperti luka, garis jahitan), daerah yang terpasang alat invasi (terpasang infus dan sebagainya), catat karakteristik dari drainase dan adanya inflamasi. Doenges (2000: 285) menyatakan bahwa tindakan tersebut untuk mendeteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakuan tindakan dengan segera.
Tindakan yang berikutnya adalah memberikan anribiotik sesuai indikasi. Doenges (2000: 285) antibotik merupakan terapi profilaktik dapat digunakan pada pasien yang mengalami trauma (perlukaan), kebocoran CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi nosokomial. Respon dari tindakan ini adalah obat injeksi Intra Vena Ampicilin 1000 mg masuk serta tidak disertai reaksi alergi.
Setelah dilakukan tindakan sesuai kriteria waktu yang telah direncanakan, didapatkan data obyektif luka tampak bersih, keadaan luka kering, tidak ada tanda-tanda penyebaran infeksi, tekanan darah 120/90 mmHg, nadi 81 kali permenit, respirasi rate 23 kali permenit, suhu 36oC. Masalah teratasi, lanjutkan intervensi yang sudah dibuat, pertahankan kondisi pasien.






Diagnosa keperawatan yang tidak muncul:
1. Perubahan jaringan serebral berhubungan dengan interupsi aliran darah, gangguan oklusif, hemoragi, vaso spase serebral, edema serebral (Doenges, 1999: 293-294).
Perubahan jaringan serebral adalah penurunan pemberian oksigen sehingga gagal dalam memberi makan jaringan pada tingkat kapiler (NANDA, 2005-2006: 56).
Perubahan jaringan adalah keadaan diamana individu mengalami atau beresiko mengalami suatu penurunan dalam nutrisi dan pernapasan pada tingkat selular disebabkan suatu penirunan dalam suplai darah kapiler (Carpenito, 2000: 407).
Diagnosa keperawatan tersebut tidak diangkat dengan alasan tidak adanya data yang mendukung pada pasien cedera kepala sedang. Pada kenyataannya kesadaran pasien compos mentis, tanda-tanda vital stabil dengan tekanan darah: 120/90 mmHg, nadi: 81 kali permenit, respirasi rate:23 kali permenit, suhu: 36oC.
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler (Doenges, 1999: 277-278).
Ketidakefektifan pola nafas yaitu keadaan dimana seorang individu mengalami kehilangan ventilasi yanh aktual atau potensial yang berhubungan dengan pola pernafasan (Carpenito, 2000: 325).
Pola nafas tidak efektif yaitu pertukaran udara inspirasi dan atau ekspirasi tidak adekuat (NANDA, 2005-2006: 115).
Diagnosa keperawatan tidak diangkat dengan alasan tidak adanya data yang mendukung yaitu pada kenyataannya pola nafas pasien normal dengan pernafasan 20 kali permenit.
3. Resiko terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kelemahan otot untuk mengunyah (Nic dan Noc 2007: 320).
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh adalah intake nutrisi tidak cukup untuk keperluan metabolisme tubuh (NANDA, 2005-2006: 120).
Diagnosa keperawatan tidak diangkat dengan alasan tidak adanya data yang mendukung pada pasien cedera kepala sedang. Pada kenyataannya pasien tidak mengalami penurunan nafsu makan dan tidak ada kesukaran dalam mengunyah/ menelan.
4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi, penurunan kekuatan (Nic dan Noc 2007: 304)
Kerusakan mobilitas fisik adalah suatu keterbatasan dalam kemandirian, pergerakan fisik yang bermanfaat dari tubuh atau satu ekstremitas atau lebih (Nic dan Noc 2007: 303).
Kerusakan mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam kebebasan untuk pergerakan fisik tertentu pada bagian tubuh atau satu atau lebih ekstremitas (NANDA, 2005-2006: 105).
Diagnosa tersebut tidak diangkat dengan alasan tidak ditemukan adanya data yang mendukung pada pasien cedera kepala sedang. Pada kenyataannya pasien dapat melakukan mobilitas di tempat tidur, berpindah dan ambulasi

Daftar Pustaka


DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L.J, 2000, Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8, Alih Bahasa Ester M, EGC, Jakarta.
Corwin, E.J, 2000, Patofisiologi, Alih Bahasa Brahm U, Pandit EGC, Jakarta.
Doenges, M.E; Moorhouse, M.F; Geissler, A.C, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3, Alih Bahasa Karisa dan Sumarwati, EGC, Jakarta.
Harsono, 2000, Kapita Selekta Neurologi, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Hudak & Gallo, 1997, Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik Edisi VI Volume 2, EGC, Jakarta.
Long, B.C, 1996, Perawatan Medikal Bedah, Alih Bahasa YIA PKP, Yayasan IAPK Pajajaran, Bandung.
Mansjoer, A, dkk, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius, Jakarta.
NANDA, 2005/2006, Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda, Alih Bahasa Budi Santosa, Prima Medika, NANDA.
Wilkinson, Judith.M, 2006, Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil Noc, EGC, Jakarta.
Pahria, dkk, 1996, Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Persarafan, EGC, Jakarta.
Price dan Wilson, 1995, Fisiologi Proses-proses Penyakit, Edisi 4, Alih Bahasa Peter Anugrah, EGC, Jakarta.
Pahria & Kumar,1995, Buku Ajar Patologi II Edisi 4, Alih Bahasa Staf Pengajar Laboratorium Patologi anatomik FKUA, EGC, Jakarta.
Smeltzer, S.C & Bare, B.G, 2002, Buku Ajar Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2, Alih Bahasa Kuncara, H.Y, dkk, EGC, Jakarta.
Syaifudin, 1997, Anatomi Fisiologi untuk Siswa Perawat, EGC, Jakarta.
Adelina, 2000, Trauma Kapitis http://www.medicastore.com/ =687. Accessed 29 Juni 2008.