Senin, 04 Agustus 2008

Konsep Dasar


BAB I
KONSEP DASAR

A. Definisi
Komosio serebri (gegar otak) merupakan bentuk trauma kapitis ringan, dimana terjadi pingsan (kurang dari 10 menit). Gejala gejala lain mungkin termasuk noda-noda di depan mata dan linglung. Komosio serebri tidak meninggalkan gejala sisa atau tidak menyebabkan kerusakan struktur otak (Pahria, 1996: 48).
Komosio serebri atau gegar otak adalah keadaan pingsan yang berlangsung tidak lebih dari 10 menit akibat trauma kepala, yang tidak disertai dengan kerusakan jaringan otak. Pasien mungkin mengeluh sakit kepala, vertigo, mungkin muntah, tampak pucat (Harsono, 2000: 310).
Cedera kepala sedang adalah cedera kepala dengan GCS (Galsgow Coma Scale) antara 9 sampai 13 (Mansjoer, Arif. 2000: 3).
Cedera kepala sedang adalah cedera kepala dengan Skala Koma Glssgow (SKG) antara 9-12 dengan kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam serta dapat mengalami fraktur tengkorak (Hudak dan Gallo, 1996: 226)
Dari beberapa pengertian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa cedera kepala sedang merupakan cedera kepala yang dapat mengakibatkan kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam serta dapat disertai dengan fraktur tengkorak dan kerusakan struktur dan jaringan otak dengan Skala Koma Galsgow (SKG) antara 9-13.
B. Etiologi
Penyebab dari cedera kepala sedang antara lain:
1. Kecelakaan sepeda motor atau lalu lintas
2. Jatuh, benturan dengan benda keras
3. Karena pukulan engan benda tajam, tumpul dan perkelahian
4. Cerdera karena olah raga (Corwin, 2000: 175)
Berbagai macam penyebab dari cedera kepala diantaranya karena adanya percepatan mendadak yang memungkinkan terjadinya benturan atau karena perlambatan mendadak yang terjadi jika kepala membentur objek yang tidak bergrak. Kerusakan otak bias terjadi pada titik benturan pada sisi yang berlawanan (Adelina, 2000, http://www.medicastore.com/ =687. Accessed 29 Juni 2008).
C. Manifestasi Klinis
Gejala klinik dari cedera kepala berbeda-beda dengan jenis dan macam-macam dari truma kepala itu sendiri. Jenis trauma kepala ada dua yaitu:
1. Trauma Kepala tertutup
a. Komosio serebri
Adalah suatu kehilangan fungsi neural akut yang berlangsung sebentar saja. Penderita mengalami amnesia retrograde tanpa ditemukannya kelainan neurologist. Sepertiga kasus mengelami kasus linier yang tidak dapat mengubah perjalanan penyakit sehingga tidak perlu rawat inap. Bila terjadi fraktur yang melintasi arteri meningia media, sutura lamdoidal atau sutura sagitalis sebaiknya dilakukan perawatan, karena kemungkinan akan terjadi hematoma epidural.
Tanda dan gejala klinik:
1) Pingsan tidak lebih dari 10 menit
2) TTV yang tidak normal atau menurun
3) Setelah sadar mungkin terdapat gejala subyektif seperi nyeri kepala, pusing dan mintah
4) Terdapat amnesia retrograde (singkat) dan pada pemerisaan tidak terdapat kelainan neurologi lainnya
b. Kontusio Serebri
Tanda dan gejala:
1) Pingsan berlangsung lama, lebih dari 1 jam dan dapat berhari-hari bahkan berminggu-minggu.
2) Kelainan neurologik. Kelinan ini timbul tergantung pada lokalisasi dan luasnya nyeri. Lesi pada batang otak dapat berakibat fatal.
a) Pada gangguan diensefalon: prnafasan biasa (cheyne strokes ), pupil mengecil, dan reflek cahaya baik, gerakan mata tetap ditengah pada pergerakan kepala, pada susunan motorik terdapat rigiditas debortikalis
b) Pada gangguan Mesensefalons dan Pons: penurunan kesadaran hingga koma, hiperventilasi, pupil melebar dan refleksi cahaya tidak ada, pergerakan cahaya tidak teratur sikap desorebrasi tungkai dan lengan (ekstensi).
c) Pada medulla oblongata: Nafas tersengal-sengal, tidak teratur kemudian berhenti, pada pemeriksaan fungsi lumbal, cairan serebrospinalis berdarah.
c. Hematoma epidural
Adalah pengumpulan darah diantara tulang kepala dan durameter. Lokasi yang sering terjadi adalah didaerah frontal dan temporal. Perdarahan ini terjadi karena robeknya arteri meningea media atau cabang-cabangnya, atau robeknya vena meningea media
Gejala Klinik:
1) Penurunan kesadaran (Nyeri kepala sebentar lalu membaik)
2) Anisokor
3) Hemiparesi kontralateral
4) Beberapa jam kemudian timbul gejala yang berat dan progresif (nyeri kepala hebat, pusing dan penurunan kesadaran).
d. Hematoma Subdural
Adalah pengumpulan darah diantara durameter dan arakhnoid. Perdarahan disebabkan oleh robeknya vena yang melintas dari kortekas serebri ke sinus dural (bridging veins) atau laserasi durameter. Perdarahan ini dapat dibedakan menjadi perdarahan akut, sub akut dan kronis. Perdarahan akut sering dihubungkan dengan cedar otak besar atau batang otak dengan tanda-tanda nyeri kepala, perasaan ngantuk, bingung, gelisah, dan respon yang lambat.
Perdarahan sub akut biasanya berkembang antara 7-10 hari setelah cedera dan dihubungankan dengan kontusio serebri yang agak berat. Hal ini dapat menyebaban tekanan yang terus-menerus yang dapat meningkatkan penurunan kesadaran yang dalam.
Perubahan subdural kronis terjadi karena luka yang ringan. Pada mulanya perdarahan yang kecil memasuki ruang subdural, kemudian beberapa minggu menumpuk disekitar membrane vaskuler dan pelan-pelan meluas dan menimbulkan gejala sampai beberapa minggu/bulan sehingga terjadi pnurunan tingkat kesadaran.
Gejala klinik:
1) Nyeri kepala yang hebat dan muntah
2) Ubun-ubun yang besar menonjol dan lingkar kepala membesar
3) Kejang-kejang
4) Perdarahan retina
5) Peningatan intra kranial yang timbul dalam satu waktu sampai dua hari
e. Perdarahan Intra Serebral
Merupakan penumpukan darah pada jaringan otak. Hal ini banyak dihubungkan dengan kontusio yang terjadi didaerah frontal dan temporal. Akibatnya danya substansi darah dalam jaringan otak maka akan menimbulkan edema otak dan gejala neurologiknya tergantung dari ukuran dan lokasi perdarahan:
Gejala Klinik:
1. Terjadi bersama kontusio
2. Lebih buruk dari kontusio
3. Adanya bekuan darah di otak
4. Edema lokal yang hebat
f. Fraktur Tengkorak
Fraktur tengkorak terdiri atas fraktur linier, distatik, growing basilar, impresi dan terbuka.
Fraktur linier: Tengkorak yang imatur dapat menahan deformasi yang lebih besar sebelum terjadi fraktur, dan bentuk yang terjadi biasanya fraktur linier. Pada anak kecil garis fraktur otak rata sehingga sulit dibedakan dengan sutura yang masih terbuka. Fraktur linier terjadi akibat pukulan benda keras, oleh karena itu perlu diobservasi kemungkinan terjadinya hematoma epidural dan subdural. Fraktur ditemporal atau meluas ke foramen magnum dapat disertai timbulnya hematoma epidural, demikian juga apabila garis fraktur menyilang pembuluh darah besar.
Fratur diastatik: Adalah terpisahnya satu sutura atau lebih karena trauma kepala. Terjadi karena robeknya sambungan sutra yang fibrus. Sering terjadi pada sutura lamdoidal dalam usia 4 tahun yang pertama. Keadaan ini harus dipantau secara tepat sebab dapat menjadi fraktur growing yaitu herniasi jaringan otak melalui durameter yang robek.
Fraktur basilar: Keadaan ini dapat dicurigai apabila telihat perdarahan nasofarings, telinga tengah, keluarnya cairan serebrospinal dari telinga (otorea), keluarnya cairan serebrospinal dari hidung (rinorea) , ekimosis retroarikular dan sekitar mata (battle sign) dan paresis Nervus VII dan VIII. Fraktur didasar fosa anterior dapat terjadi kedalam orbita dengan gejala eksoftalamos dan perdarahan konjungtiva, sedangkan fraktur dibagian temporalis bagian mastoid menyebabkan ekimosis retroarikular.
g. Sindroma Pasca Trauma
Gejala Klinik:
1) Palpitaasi (berdebar-debar)
2) Konsentrasi menurun
3) Dimensia ringan
4) Mudah tersinggung
5) Gangguan seksual
6) Berkeringat
7) Cepat lelah
8) Lesi-lesi kecil didaerah temporofrontal
2. Trauma Kepala Tertuutup (trauma spinal)
Gejala klinik:
a. Avulsi radiks terutama regio fleksus brakialis
b. Nyeri berat
c. Mengakibatkan paresis anggota badan terkait
d. Lesi servikal atas

Secara spesifik manifestasi klinis dari cedera kepala sedang adalah:
1. Kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.
2. Dapat mengalami fraktur tengkorak
3. Skala Koma Glasgow (SKG) antara 9-13 (Hudak dan Gallo, 1996: 226)
4. Terjadi konvusi
5. Muntah
6. Tanda kemungkinan terjadi fraktur kranium (mata rabun, hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebrospinal) dan terdapat lesi-lesi kecil di daerah tempofrontal
7. Kejang (Mansjoer, Arif. 2000: 4)
D. Anatomi Patologi
Otak dilindungi dari cidera oleh rambut, kulit dan tulang yang membungkusnya. Pelindung lain yang melapisi oatak adalah meningen yang mempunyai tiga buah lapisan ketiga lapisan tersebut adalah durameter, arakhnoid dan piameter. Durameter terdiri atas jaringan ikat kolagen padat, tebal dan keras. Lapisan paling luar berpadu dengan tengkorak dan merupakan selaput halus yang terdiri atas selmitosel yang disebut villus arakhnoid alis yang menonjol dalam sinus itu, berparan dalam Liquor serebrospinalis. Antara arakhnoid dan piameter terdapat tulang sabarakhnoid berisi serebrospinal terdiri berbagai selaput yang terjalin seperti laba-laba, saraf, makrofag, melankor. Pada sinus sagitalis superior dan transversal, arakhnoid membentuk tonjolan villus (pacciani) yang bertindak sebagai lintasan untuk mengosongkan cairan serebrospinale dalam sistem vena. Piameter terdiri atas selapis metosel yang berhubungan erat dengan otak (Price dan Wilson, 1995: 1014).
Adapun trauma pada kepala mengakibatkan kehilangan kesadaran dan reflek-reflek. Gejala-gejala lebih keras bila trauma terjadi pada saat kepala sedang bergerak. Akibat benturan, timbul getaran-getaran yang dialirkan ke jaringan otak, yang terkena mula-mula adalah permukaan otak sehingga daerah motorik yang superfisial (yang mengurus tungkai bawah) terkena juga sehingga menimbulkan kelemahan. Sering labirin terkena sehingga menimbulkan vertigo dan kehilangan keseimbangan. Terkenanya batang otak bagian atas menimbulkan kehilangan kesadaran. Gejala klinis khas ialah amnesia retrograde yaitu penderita setelah sadar lagi tidak mengetahui apa-apa yang mengenai kejadian tersebut. Setelah tingkat akut dapat terjadi gejala-gejala yang disebut sindrom paska gegar, yang biasanya terdiri atas nyeri kepala, pusing dan mudah tersinggung yang ditemukan pada orang dewasa (Himawan, 1996: 397).
E. Patofisiologi
Cedera kepala dapat terjadi karena cedera kulit, kepala, tulang kepala, jaringan otak, baik terpisah maupun seluruh. Faktor yang mempengaruhi cedera kepala adalah lokasi dan arah dari penyebab benturan, kecepatan kekuatan yang datang, permukaan dan kekuatan yang menimpa, kondisi kepala ketika mendapat benturan.
Tepat diatas tengkorak terletak galea aponeurika, suatu jaringn fibrosa, padat dan dapat digerakan dengan bebas yang membantu menyerap kekuatan eksternal. Diantara kulit dan galea terdapat lapisan lemak dan membran dalam yang mengandung pembuluh-pembuluh darah. Bila robek pembuluh ini akan sukar vasokontriksi. Tengkorak otak merupakan ruangan keras sebagai pelindung otak atau rangka otak. Pelindung lain adalah meningen yang merupakan selaput menutupi otak (Price dan Wilson, 1995: 1014)
Cedera kepala dapat bersifat terbuka (menembus durameter) atau truma tertutup (trauma tumpul tanpa penetrasi menembus durameter). Cedera kepala terbuka memungkinkan patogen lingkungan memiliki akses langsung ke otak. Pada kedua jenis kepala akan terjadi kerusakan apabila pembuluh darah dan sel glia dan neuron hancur. Kerusakan otak akan timbul apabila terjadi perdarahan sdan peradangan yang menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial (Corwin, 2001: 175).
Mekanisme cedera kepala memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya konsekuensi patofisiologi dari trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi bila benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, sedangkan perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak (Hudak dan Gallo, 1996: 226). Kedua kekuatan ini mungkin terjadi scara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan dapat diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada subtantia alba dan batang otak.
Cedera primer yang terjadi pada waktu benturan mungkin memar karena benturan otak, laserasi subtantia alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi Hiperemia (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial dan akhirnya peningkatan Tekanan Intra Kranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekundar meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi (Hudak dan Galllo. 1996: 226)..
Trauma dengan disertai edema dapat menyumbat CSF (Cerebro Spinal Fluid) baik langsung maupun tidak yang berakibat Tekanan Intra Kranial meningkat (Long. 1996: 2004).
Efek trauma yang dapat menyebabkan perubahan neurologik berat, disebaban oleh reaksi jaringan terhadap cedera setiap kali jaringan mengalami cedera, responnya dapat diperkirakan sebelumnya dengan perubahan cairan intrasel dan ekstrasel yang dapat mengakibatkan edema otak, mekanisme kompensasi menjadi tidak efektif yang menimbulkan peningkatan TIK yang dapat mengurangi aliran darah otak dan mengakibatkan retensi CO2 yang meningkat akibat mengakibatan vasodilatasi yang membantu peningkatan TIK sehingga otak akan mengalami penurunan dan glukosa, sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh berkurang karena akan menimbulkan koma (Pahria, Tuti. 1996: 50).
Pada kontusio serebri yang berat akan terrjadi penimbunan asam laktat dan penambahan asam laktat, hal ini dapat teerjadi karena metabolisme anaerobik dari glukosa akibat hipoksia atau kerusakan akibat trauma. Bila otak mengalami hipoksia maka metabolisme glukosa anaerob akan terrjadi dan pada proses ini menyebabkan dilatasi pembuluh darah, hal ini terjadi agar kebutuhan oksigen otak terpenuhi.
Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, bila terjadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar maka akan mengakibatan gangguan fungsi. Sedangkam bahan bakar utama otak adalah glukosa. Bila kadar glukosa kurang dari 20 mg % maka akan terjadi koma.
Dalam keadaan normal Cerebral Blood Flow yaitu 60-70 ml/menit/100 gram jaringan otak, yang berarti 20% dari CO. Pembuluh darah akan berkonstriksi bila tekanan menurun sedangkan pengaruh saraf simpatis dan parasimpatis pada pembuluh darah arteri tidak begitu besar. Sedangan konsentrasi O2 dan CO2 dalam arteri sangat mempengaruhi aliran darah. Bila PO2 rendah maka aliran darah akan bertambah secara nyata karena terjadi vasodilatasi, sebaliknya bila terjadi penurunan PCO2 akan terjadi alkalosis yang menyebabkan konstriksi arteri kecil dan penurunan CSF. Penambahan jumlah darah dalam intrakranial akan menyebabkan terjadinya Tekanan Intra Kranial (TIK).
Edema otak disebabkan karena adanya penumpukan cairan yang berlebihan pada jaringan otak. Pada pasien kontusio serebri pembuluh kapiler robek, cairan traumatik mengandung protein eksudat yang berisi albumin dan cairan interstitial. Otak pada kondisi normal tidak mengalami kondisi otak sehingga bila terjadi penekanan terhadap pembuluh darah dan jaringan sekitarnya akan menimbulkan kematian jaringan otak. Edema jaringan otak akan mengakibatkan peningkatan TIK yang dapat menyebabkan herniasi dan penekanan pada batang otak.
Banyak energi diserap oleh lapisan pelindung (rambut, kulit, kepala, tengkorak) tetapi pada truma hebat penyerapannya ini tidak cukup untuk melindungi otak. Sisa energi diteruskan dan menyebabkan kerusakan dan gangguan sepanjang jalan yang dilewati karena jaringan lunak menjadi sasaran kekuatan itu.
Efek sekunder trauma yang menyebabkan neurologik berat, disebabkan oleh reaksi jaringan terhadap cedera. Setiap kali jaringan mengalami cedera dan ekstrasel, eksravasasi darah, peningkatan suplai darah ketempat itu dan mobilisasi sel-sel untuk memperbaiki dan membuang debris seluler.
Neuron atau sel-sl fungisional dalam otak yang bergantung dari menit ke menit pada suplai nutrisi yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen serta sangat peka terhadap cedera metabolik apabila suplai terhenti sebagai akibat cedera, sirkulasi otak dapat kehilangan kemempuannya untuk mengatur volume darah beredar dan bersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak (Price, 1995: 1016).

G. Fokus Pengkajian
1. Aktivitas/ istirahat
Data subyektif : adanya kelelahan/ kelemahan
Data Obyektif : kesadaran menurun, latheragi, hemiparase, hilang keseimbangan, adanya trauma tulang, dan spasme.
2. Peredaran Darah
Data obyektif : tekanan darah tinggi, denyut nadi (Brachilis, Tachicardy, dysritmia)
3. Eliminasi
Data subyektif : verbal tidak dapat membuang air dan air besar
Data Obyektif : Bladder dan Bowel Icontinensia.
4. Makanan/ Cairan
Data subyektif : mual, Muntah
Data Obyektif : muntah yang memencar/ proyektil, masalah kesukaran menelan (batuk, air liur yang berlebihan, sukar makan makanan)
5. Persarafan
Data subyektif : pusing, adanya kehilangan kesadaran, kejang, masalah penglihatan, bunyi terdengung ditelinga.
Data Obyektif : kesadaran menurun, koma perubahan status mental, perubahan penglihatan, kehilangan sensitifitas, wajah tidak simetris, tida ada reflek tendon, hemiparase, adanya perdarahan mata, hidung, telinga dan kejang.
6. Kenyamanan/ Nyeri
Data subyektif : nyeri kepala yang bervariasi tekanan dan lokasinya.
Data Obyektif : respon menarik diri terhadap rangsangan
7. Pernafasan
Data Obyektif : perubahan pada pola nafas wheezing, stridor dan ronchi.
8. Keamanan
Data subyektif : ada riwayat kecelakaan
Data Obyektif : terdapat trauma, fraktur, dislokasi, perubahan penglihatan, kulit, keluar darah dari telinga atau hidung. Ketidaktahanan tentang keadaanya, kelemahan otot, paralise, demam, perubahan temperatur.
9. Konsep diri
Data subyektif : Adanya perubahan tingkah laku
Data Obyetif : Kecemasan, berdebar-debar, bingung, delirium
10. Interaksi Sosial
Data Obyektif : Afasia/ disatria (gangguan dalam mengartikan perkataan orang lain)
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan dalam menegakkan diagnosa medis adalah X- Ray tengkorak, CT Scan, Angiografi.
H. Fokus Intervensi
Intervensi Keperawatan bedasarkan diagnosa yang mungkin muncul pada pasien dengan cedera kepala adalah:
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan hemoragi, hematoma, atau edema serebral.
Dibuktikan oleh perubahan tingkat kesadaran, kehilangan memori, perubahan respon motorik/ sensorik, perubahan tanda-tanda vital. Kriteria hasilnya adalah mempertahankan tingkat kesadaran biasa/ perbaikan, kognisi dan fungsi motorik/ sensorik, mendemonstrasikan tanda-tanda vital stabil, tidak ada peningkatan tekanan intra kranial.
Intervensinya adalah pantau atau catat status neurologis dengan nilai skala coma Glasgow normal, pantau tekanan darah, evaluasi keadaan pupil, ukuran , kasamaan, reaksi, kaji perubahan pada penglihatan, catat/ada tidaknya reflek-reflek tertentu, (menelan, batuk), pantau suhu dan atur lingkungan sesuai indikasi, pantau pemasukan, dan pengeluaran, perthankan posisi kepala/ leher posisi tengah, netral, berikan wakti istirahat, diantara ativitas istirahat, kolaborasi tinggikan kepala pasien 15-45O sesuai indikasi, batasi pemberian sesuai indikasi, berikan oksigen tambahan, sesuai indikasi, berikan obat (diuretik, manitol, steroid, analgesik) sesuai indikasi (Doenges, 2000: 273).
2. Resiko tinggi terhadap pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernafasan otak), obstruksi trakeobronkial.
Kriteria hasilnya adalah mempertahankan pola pernafasan normal (efektif, bebas, sianosis, analisa gas darah normal)
Intervensinya adalah pantau frekuensi, irama, kedalaman pernafasan, angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miring sesuai indikasi, anjurkan pasien untuk melakukan nafas dalam yang efektif jika pasien sadar, lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati jangan lebih dari 10-15 detik. Catat karakter, warna dan kekeruhan secret, auskultasi suara nafas, perhatikan daerah hipoventilasi, pantau dari penggunaan dari obat-obat depresan pernafasan, serta dapat dipantau analisa gas darah, lakukan rontgent thoraks ulang dan berikan oksigen (Doenges, 2000: 277).
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi, penurunan kekuatan.
Dibuktikan oleh ketidakmampuan bergerak sesuai tujuan dalam lingkungan fisik di tempat tidur, pemindahan ambulasi. Kerusakan koordinasi, keterbatasan rentang gerak, penurunan kekuatan otot.
Kriteria hasilnya adalah melakukan kembali/ mempertahankan posisi fungsi optimal, mempertahankan/ meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit, mendemonstrasikan teknik/ perilaku yang memungkinkan dilakukannya kembali aktivitas, mempertahankan integritas kulit, kandung kemih dan fungsi usus.
Intervensinya adalah kaji derajat imobilisasi (skala 0-4). Ubah posisi pasien secara teratur, pertahankan kesejajaran posisi tubuh secara fungisional, berikan/ bantu untuk melakukan latihan rentang gerak, tingkat aktivitas dan partisipasi dalam merawat diri sesuai dengan kemampuan, berikan perawatan kulit cermat, masase dengan pelembab dan ganti linen tersebut dengan bersih, pantau pola eliminasi (Doenges, 2000: 282).
4. Resiko tinggi tehadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan, prosedur infasive.
Kriteria hasilnya adalah tidak ada tanda-tanda infeksi (rubor, color, dolor, tumor dan penurunan fungsi) mencapai penyembuahan luka tepat waktu bila ada.
Intervensinya adalah berikan terknik septik dan antiseptik, observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang alat infasive, pantau suhu tubuh secara teratur, anjurkan untuk melakukan nafas dalam, kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi (Doenges, M.E, 2000: 284).
5. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrisi, kelemahan otot untuk mengunyah dan menelan.
Kriteria hasilnya adalah kemajuan peningkatan berat badan sesuai tujuan, tidak mengalami tanda-tanda mal nutrisi.
Intervesinya adalah kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan, batuk dan mengatasi sekresi, auskultasi bising usus, timbang berat badan sesuai indikasi, jaga keamanan saat memberikan makan pasien, tinggikan kepala tempat tidur, berikan makan dalam jumlah kecil dalam waktu yang sering dan teratur. Kolaborasi yaitu dengan ahli gizi, pantau pemeriksaan laboratoriun, berikan makan dengan cara yang sesuai dengan indikasi (Doenges, 2000: 286).
6. Kurang pengetahuan mengenai kondisi penyakit dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan tidak mengenal informasi/ sumber.
Kriteria hasilnya adalah berpartisipasi dalam proses belajar, mengungkapkan pemahaman tentang kondisi, aturan pengobatan, melakukan prosedur yang diperlukan dengan benar.
Intervensinya adalah evaluasi kemampuan dan kesiapan untuk belajar dari pasien dan juga keluarganya, berikan kembali informasi kembali yang berhubungan dengan proses trauma dan pengaruh sesudahnya, diskusikan rencana untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri, berikan instruksi dalam bentuk tulisan dan jadwal mengenai aktivitas, obat dan faktor penting, identifikasi sumber-sumber yang berada di masyarakat (Doenges, 2000: 289).
7. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik
Kriteria hasilnya adalah mentoleransi aktivitas yang biasanya dilakukan dan ditunjukkan dengan daya tahan, penghematan energi dan perawatan diri Ativitas Kehidupan Sehari-hari (AKSI)
Intervensinya adalah terapi aktivitas: saran tentang bantuan dalan aktivitas fisik, kognitif, social dan spiritual yang spesifik unru meningkatkan rentang, frekuensi atau durasi aktivitas individu (atau kelompok), pengolahan energi: pengaturan penggunaan energi untuk merawat atau mencegah kelelahan da mengoptimalkan fungsi (Nic dan Noc, 2008: 4)
8. Gangguan rasa nyaman nyeri local berhubungan dengan penekanan intrakranial dan penurunan suplai oksigen ke otak (hipoksia).
Kriteria hasilnya adalah pasien tidak mengeluh nyeri, hematoma dan pembengkakan hilang atau berkurang, pasien dapat beristirahat dengan tenang.
Intervensinya adalah kaji tipe, lokasi dan durasi nyeri, jelaskan patologis terjadinya nyeri akibat daripada cedera, batasi daerah yang cedera, kaji perubahan intensitas nyeri, observasi tanda-tanda vital, ajarkan teknik relaksasi dan distraksi, observasi perubahan perilaku terhadap perasaan tidak nyaman, kolaborasi pemberian analgertik (Wahidi, & Aryati, 1996: 54).
9. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri
Kriteria hasilnya adalah pasien dapat beristirahat/ tidur dengan tenang, tidak ada gangguan tidur, mata tidak tampak sayu, dan wajah tidak tampak kusam.
Untuk mencapai tujuan tersebut, rencana tindakan yang akan dilaksanakan yaitu: kaji pola tidur, ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman, batasi pengunjung, jelaskan pentingnya arti tidur, berikan posisi yang nyaman, anjurkan untuk melakukan teknik distraksi dan relaksasi jika nyeri timbul.

Tidak ada komentar: