Senin, 04 Agustus 2008

PEMBAHASAN


BAB III
PEMBAHASAN

Dalam bab ini penulis kan membahas tentang kasus nyata pada pasien dengan gangguan persarafan: cedera kepala sedang pada Nn.O. pembahasan mencakup bagaimana msalah keperawatan itu muncul, mengapa masalah tersebut bisa terjadi, akibat masalah tersebut jika tidak segera diatasi, dasar pemikiran dalam mengatasi masalah dan hasil perkembangan yang dicapai setelah dilakuan asuhan keperawatan
Berikut adalah masalah keperawatan yang muncul pada pasien menurut prioritas, intervensi, implementasi, serta evaluasi yang telah dilakukan.
A. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala
Nyeri akut adalah pengalaman emosional dan sensori yang tidak menyenangkan yang muncul dari kerusakan jaringan secara aktual atau potensial atau menunjukkan adanya kerusakan (Association for the Study of Pain): serangan mendadak atau perlahan dari intensitas ringan sampi yang berat yang dapat diantisipasi atau diprediksi durasi nyeri kurang dari 6 bulan (Nanda, 2005-2006: 146).
Menurut Nanda (2005-2006: 147). Masalah yang tepat adalah nyeri akut sedangkan etiologinya adalah agen cedera (biologi, psikolagi, kimia dan fisik) , sehingga diagnosa yang tepat adalah nyeri berhubungan denga trauma kepala dan peningkatan intra kranial.
Batasan karaktristik mayor (harus terdapat) dari nyeri adalah individu memperlihatkan atau melaporkan ketidaknyamanan, komunikasi (verbal atau penggunaan kode) tentang nyeri yang dideskripsikan. Sedangkan batasan karakteristik minor (mungkin terdapat) dari nyeri adalah raut wajah kesakitan, tekanan darah meningkat, posisi berhati-hati, menangis, merintih, nadi meningkat, pernafasan meningat, pupil dilatasi, terasa sesak pada abdomen serta perubahan untuk melanjutkan aktivitas sebelumnya (Carpenito, 2000: 42-45).
Hal ini didukung dengan adanya data subyektif pasien mengatakan nyeri pada kepala dengan skala 6, dan nyeri seperti ditusuk-tusuk
Jika masalah tersebut tidak segera diatasi, maka nyeri akan berlangsung terus menerus dan ditandai spasme yang mengakibatkan otot-otot sekitar tegang, mengganggu kemampuan seseorang untuk beristirahat, konsentrasi dan kegiatan-kegiatan atau aktivitas yang biasa dilakukan serta dapat menyebabkan perasaan tak berdaya atau depresi (Long, 1996: 364).
Untuk mengatasi masalah nyeri tindakan keperawatan yang dilakukan adalah mengkaji lokasi, frekuensi, dan skala nyeri. Dalam mengkaji karakteristik nyeri menggunakan palliative (apa yang memperberat dan memperingankan nyeri), quality (rasa nyeri seperti apa), region (dimana tempat nyeri itu terjadi), scale (skala intensitas tingkat nyeri), dan timing (kapan waktu nyeri itu muncul). Doenges (2000: 254) menyatakan bahwa nyeri merupakan pengalaman subyektif pasien dan harus dijelaskan oeh pasien. Identifikasi karakteristik nyeri dan faktor yang berhubungan merupakan suatu hal yang amat penting untuk memilih intervensi yang cocok dan mengevaluasi keefektifan dari terapi yang diberikan.
Tindakan mengkaji keadaan umum terutama status neurologis dari pasien misalnya Glassgow Coma Scale (GCS) dengan hasil 15 (Eye 4, Verbal 5, dan Motorik 6). Doenges (1999: 273) menyatakan mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial peningkatan intra kranial dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan susunan saraf pusat, menentukan tingkat kesadaran.
Memonitor tanda-tanda vital pada pasien. Doenges (1999: 274) menyatakan normalnya, autoregulasi mempertahankan aliran darah otak yang konstan pada saat fluktuasi tekanan darah sistemik. Kehilangan autoregulasi dapat mengikuti kerusakan vaskularisasi serebral lokal atau menyebar (menyeluruh). Peningkatan darah sistemik yang diikuti penurunan tekanan darah diastolik (nadi yang membesar) merupakan tanda terjadinya peningkatan intra kranial jika diikuti oleh penurunan tingkat kesadaran.
Tindakan keperawatan yang selanjutnya yaitu memberikan posisi yang nyaman pada pasien. Pasien mengatakan mngatakan merasa nyaman dengan posisi tidur saat kepala leher pada posisi tengah untuk memperlancar aliran darah dari jantung ke otak. Doenges (2000: 275) menyatakan bahwa posisi tersebut dapat memberian efek ketenangan, menueunkan reaksi tubuh dan meningkatan istirahat untuk menurunkan tekanan intra kranium.
Tindakan yang lain yang dilakukan adalah mengajarkan teknik relaksasi dan distraksi. Dalam melakukan teknik relaksasi dan distraksi pasien memejamkan matanya dan bernafas dengan nyaman, irama yang konstan dipertahankan dengan menghirup dengan menghitung setiap menghirup dan menghembuskan nafas. Konsentrasi pada relaksasi otot-otot tubuh juga sanagat memberikan efek positif dan kenyamanan. Doenges (2000: 561) menyataan bahwa meningkatkan relaksasi dan memampukan pasien untuk memfokuskan perhatian dan meningkatkan koping.
Memberikan analgetik Asam Mefenamat 500 mg, Mertigo 6 mg yang cara kerjanya menghambat sintesis prostaglandin dalam jaringan tubuh dengan menghambat enzim siklooksigenase sehingga mempunyai efek analgetik dan anti inflamasi serta untuk melancarkan sirulasi otak. Selain itu pemberian analgetik juga berguan dalam mempermudah kerjasama dengan intervensi terapi yang lain (Doenges, 2000: 512).
Setelah dilakukan tindakan sesuai kriteria waktu yang telah direncanakan, kondisi pasien menunjukkan perubahan dengan adanya data subyektif pasien mengatakan nyerinya berkurang dengan skala 4, data obyetikfnya wajah telihat lebih rileks, kadang masih memegang area nyeri, terlihat menahan nyeri, tanda-tanda vital: tekanan darah 120/90 mmHg, nadi 81 kali permenit, respirasi rate 23 kali permenit, suhu 36oC. Dari hasil tersebut sehingga dapat disimpulkan masalah nyeri belum teratasi karena target nyeri berkurang antara 0 sampai 3. lanjutkan intervensi yang sudah dibuat.
B. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik
Intoleransi aktivitas adalah suatu keadaan dimana seseorang individu yang tidak cukup mempunyai energi fisiologis atau psikologis untuk bertahan atau memenuhi kebutuhan atau aktivitas sehari-hari yang diinginkan (Nic dan Noc, 2008: 2).
Menurut Nanda (2005-2006: 1) masalah yang tepat adalah intoleransi aktivitas sedangkan etiologinya adalah kelemahan. Batasan karakteristiknya adalah laporan verbal: kelelahan dan kelemahan, respon terhadap aktivitas menunjukkan nadi dan tekanan darah abnormal, dispnea dan ketidaknyamanan yang sangat. Hal ini didukung dari data subyektif pasien yaitu pasien mengatakan pusing saat duduk/ beraktivitas dan hilang ketika tiduran atau istirahat.
Jika masalah tersebut tidak segera ditangani maka kelemahan dan keletihan akan terjadi terus menerus bahkan bisa mengakibatkan pusing atau pingsan.
Untuk mengatasi masalah tersebut tindakkan keperawatan yang dilakukan adalah mengintruksikan pasien tentang teknik penghematan energi misalnya melakukan ativitas dengan perlahan (latihan duduk/ latihan imobilisasi). Doenges (2000: 45) menyatakan tenik menghemat energi mengurangi penggunaan energi juga membantu keseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.
Tindakan keperawatan yang berikutnya yaitu memberikan dorongan untuk melakuan aktivitas/ perawatan diri bertahap jika dapat ditoleransi dan berikan bantuan sesuai kebutuhan. Doenges (2000: 45) menyatakan bahwa kemajuan aktivitas bertahap mencegah peningkatan kerja jantung tiba-tiba, memberikan bantuan hanya sebatas kebutuhan akan mendorong kemandirian dalam melakukan aktivitas.
Setelah dilakukan sesuai dengan kriteria waktu yang telah direncanakan kondisi pasien, hasil evaluasi yang telah didapatkan yaitu: dari data subyektif pasien mengatakan belum bisa duduk lama-lama dan data obyektifnya pasien terlihat tiduran terus dan sering menahan pusingnya. Dari hasil tersebut dapat diambil kesimpulan masalah intoleransi aktivitas belum teratasi. Lanjutkan intervensi yang telah dibuat (mengajarkan untuk latihan secara bertahap).
C. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan pintu masuk organisme
Resiko terhadap infeksi adalah keadaan dimana seseoarang induvidu beresiko terserang agen-agen pathogen atau opurtunitik (virus, jamur, bakteri, protozoa, atau parasit yang lain) dari sumber-sumber eksternal, sumber-sumber endogen atau eksogen (Carpenito, 2001: 204).
Menurut NANDA (2005-2006: ) masalah yang tepat adalah resiko tinggi infeksi sedangkan etiologinya adalah pintu masuk mikroorganisme. Batasan karateristiknya adalah prosedur invasif, pertahanan sekunder tak adekuat (Hb menurun, luopenia, penekanan respon inflamasi) dan pertahanan primer tak adekuat (kulit tak utuh, trauma jaringan, penurunan gerak silia, cairan tubuh statis, prubahan sekresi pH, perubahan peristaltik). Penulis mengambil masalah keperawatan ini karena meskipun masih resiko tetapi apabila terjadi penyebaran infeksi akan menurunkan kekebalan tubuh sehingga bakteri atau kuman akan mudah menyerang dengan berkembang biak.
Diagnosa ini ditegakkan berdasarkan data yang ditemukan pada saat pengkajian yaitu pada tanggal 22 Juni 2008 antara lain balutan luka tampak bersih terpasng infus RL 20 tetes/ menit di lengan kanan dan terdapat luka lecet di tangan sebelah kiri atas dan adanya luka lecet dan jalur invasife pemasangan infus sehingga beresiko terhadap masuknya mikroorganisme.
Untuk mengatasi masalah tersebut tindakan keperawatan yang di lakukan adalah mengkaji tanda-tanda infeksi atau mengobservasi daerah kulit yang mengalami kerusakan (seperti luka, garis jahitan), daerah yang terpasang alat invasi (terpasang infus dan sebagainya), catat karakteristik dari drainase dan adanya inflamasi. Doenges (2000: 285) menyatakan bahwa tindakan tersebut untuk mendeteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakuan tindakan dengan segera.
Tindakan yang berikutnya adalah memberikan anribiotik sesuai indikasi. Doenges (2000: 285) antibotik merupakan terapi profilaktik dapat digunakan pada pasien yang mengalami trauma (perlukaan), kebocoran CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi nosokomial. Respon dari tindakan ini adalah obat injeksi Intra Vena Ampicilin 1000 mg masuk serta tidak disertai reaksi alergi.
Setelah dilakukan tindakan sesuai kriteria waktu yang telah direncanakan, didapatkan data obyektif luka tampak bersih, keadaan luka kering, tidak ada tanda-tanda penyebaran infeksi, tekanan darah 120/90 mmHg, nadi 81 kali permenit, respirasi rate 23 kali permenit, suhu 36oC. Masalah teratasi, lanjutkan intervensi yang sudah dibuat, pertahankan kondisi pasien.






Diagnosa keperawatan yang tidak muncul:
1. Perubahan jaringan serebral berhubungan dengan interupsi aliran darah, gangguan oklusif, hemoragi, vaso spase serebral, edema serebral (Doenges, 1999: 293-294).
Perubahan jaringan serebral adalah penurunan pemberian oksigen sehingga gagal dalam memberi makan jaringan pada tingkat kapiler (NANDA, 2005-2006: 56).
Perubahan jaringan adalah keadaan diamana individu mengalami atau beresiko mengalami suatu penurunan dalam nutrisi dan pernapasan pada tingkat selular disebabkan suatu penirunan dalam suplai darah kapiler (Carpenito, 2000: 407).
Diagnosa keperawatan tersebut tidak diangkat dengan alasan tidak adanya data yang mendukung pada pasien cedera kepala sedang. Pada kenyataannya kesadaran pasien compos mentis, tanda-tanda vital stabil dengan tekanan darah: 120/90 mmHg, nadi: 81 kali permenit, respirasi rate:23 kali permenit, suhu: 36oC.
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler (Doenges, 1999: 277-278).
Ketidakefektifan pola nafas yaitu keadaan dimana seorang individu mengalami kehilangan ventilasi yanh aktual atau potensial yang berhubungan dengan pola pernafasan (Carpenito, 2000: 325).
Pola nafas tidak efektif yaitu pertukaran udara inspirasi dan atau ekspirasi tidak adekuat (NANDA, 2005-2006: 115).
Diagnosa keperawatan tidak diangkat dengan alasan tidak adanya data yang mendukung yaitu pada kenyataannya pola nafas pasien normal dengan pernafasan 20 kali permenit.
3. Resiko terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kelemahan otot untuk mengunyah (Nic dan Noc 2007: 320).
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh adalah intake nutrisi tidak cukup untuk keperluan metabolisme tubuh (NANDA, 2005-2006: 120).
Diagnosa keperawatan tidak diangkat dengan alasan tidak adanya data yang mendukung pada pasien cedera kepala sedang. Pada kenyataannya pasien tidak mengalami penurunan nafsu makan dan tidak ada kesukaran dalam mengunyah/ menelan.
4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi, penurunan kekuatan (Nic dan Noc 2007: 304)
Kerusakan mobilitas fisik adalah suatu keterbatasan dalam kemandirian, pergerakan fisik yang bermanfaat dari tubuh atau satu ekstremitas atau lebih (Nic dan Noc 2007: 303).
Kerusakan mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam kebebasan untuk pergerakan fisik tertentu pada bagian tubuh atau satu atau lebih ekstremitas (NANDA, 2005-2006: 105).
Diagnosa tersebut tidak diangkat dengan alasan tidak ditemukan adanya data yang mendukung pada pasien cedera kepala sedang. Pada kenyataannya pasien dapat melakukan mobilitas di tempat tidur, berpindah dan ambulasi

Tidak ada komentar: